Pesantren yang Dijadikan Lelucon: Kritik UIN Malang atas Krisis Akal Budi di Era Positivisme Media

Malang | Serulingmedia.com –Suara tawa menggema dari layar televisi, ketika sebuah acara komedi di Trans7 menayangkan parodi kehidupan pesantren.
Para aktor bersarung, berbicara dengan logat kedaerahan yang dilebih-lebihkan, dan berperilaku kikuk seolah lucu. Namun, di balik gelak tawa itu, banyak hati yang tergores.
Dunia pesantren—yang selama ini menjadi ruang suci pendidikan moral dan spiritual—mendadak direduksi menjadi tontonan yang memancing tawa, bukan rasa hormat.
Di berbagai media sosial, kritik berdatangan. Banyak alumni dan kalangan akademisi menilai tayangan itu melecehkan citra santri dan mengaburkan makna pesantren.
Salah satu suara paling tajam datang dari Triyo Supriyatno, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, yang menulis analisis mendalam tentang kesalahan cara pandang media terhadap pesantren.
Melucukan yang Suci
Dalam pandangan Triyo, kesalahan Trans7 bukan sekadar urusan etika siaran. Ia menyentuh akar yang lebih dalam: cara berpikir positivistik yang kini merasuki budaya media.
“Trans7 melihat pesantren dengan mata kamera, bukan dengan mata hati,” tulisnya dalam analisis yang kini ramai dibicarakan di lingkungan akademik Malang.
Positivisme—warisan pemikiran Auguste Comte dan Durkheim—mengajarkan bahwa kebenaran hanya ada sejauh ia bisa diukur dan diamati.
Dalam dunia televisi, pandangan ini berubah menjadi budaya visual, di mana sesuatu dianggap penting bila menarik perhatian, lucu, atau viral. Maka pesantren yang sarat nilai spiritual, adab, dan keikhlasan, dijadikan sekadar setting untuk lelucon ringan.
“Padahal pesantren bukan tempat orang bersarung dan tertawa-tawa. Ia adalah sistem nilai yang membentuk cara berpikir, cara beriman, dan cara berakhlak,” tegas Triyo.
Kedalaman yang Tak Tertangkap Kamera
Di balik kesederhanaan kehidupan santri, sesungguhnya tersimpan dunia keilmuan yang luas.
Tradisi kitab kuning, misalnya, bukan peninggalan kuno, melainkan metode pendidikan yang menumbuhkan logika, tata bahasa, dan filsafat Islam klasik secara mendalam. Sayangnya, dimensi inilah yang tak mampu dijangkau kamera.
“Media memotong realitas menjadi potongan gambar tanpa konteks moral dan sejarah,” tulis Triyo.
Hasilnya, pesantren tampak seolah dunia tertinggal, bukan pusat pencerahan.
Padahal, dari pesantrenlah lahir tokoh-tokoh besar bangsa—dari KH. Hasyim Asy’ari hingga KH. Ahmad Dahlan—yang membentuk fondasi moral dan intelektual Indonesia modern.
Krisis Etika di Dunia Media
Triyo menilai bahwa kekeliruan Trans7 mencerminkan krisis etika publik di tengah budaya kebebasan ekspresi tanpa tanggung jawab moral.
Dalam logika media modern, yang penting bukan isi, tetapi impact; bukan kebenaran, tetapi rating.
Sebaliknya, budaya pesantren menempatkan setiap kata dan tindakan sebagai amanah moral. Santri diajarkan berhati-hati dalam berbicara karena ucapan mencerminkan keadaan hati.
“Di pesantren, kata bukan sekadar bunyi, tapi cermin jiwa. Dalam dunia media, kata sering kali sekadar alat sensasi,” sindir Triyo halus.
Kritik ini bukan sekadar bentuk kemarahan terhadap stasiun televisi, melainkan seruan moral agar bangsa ini belajar kembali memaknai kebebasan dengan tanggung jawab.
Humanisasi Positivisme
Meski tajam, kritik Triyo tidak menolak media atau modernitas. Sebaliknya, ia menawarkan konsep yang disebutnya “humanisasi positivisme”—upaya mengisi rasionalitas dengan nilai, dan menggabungkan data dengan makna.
“Pesantren tidak anti-media. Banyak pesantren kini membuat kanal YouTube dakwah, jurnal ilmiah, hingga film pendek karya santri. Mereka tidak menolak teknologi, tapi memberi ruh pada teknologi itu,” tulisnya.
Bagi Triyo, transformasi digital pesantren adalah bukti bahwa lembaga keagamaan ini mampu berdialog dengan zaman, tanpa kehilangan identitasnya.
“Pesantren tidak ingin menjadi tontonan, tapi menjadi tuntunan,” tegasnya.
Antara Rating dan Akhlak
Triyo mengapresiasi permintaan maaf Trans7, namun mengingatkan bahwa pelajaran terpenting adalah bagaimana bangsa ini memahami pesantren secara utuh.
Dunia televisi boleh sibuk menghitung rating, tapi pesantren mengajarkan untuk menghitung amal.
“Yang satu menakar dunia dengan angka, yang lain dengan akhlak,” tulisnya penuh refleksi.
Bagi Triyo, di situlah letak perbedaan paling hakiki antara positivisme media dan spiritualitas pesantren: yang satu membangun sensasi, yang lain menumbuhkan peradaban.
Pesantren: Masa Depan Kebudayaan Beradab
Tulisan Triyo Supriyatno bukan sekadar kritik terhadap media, tapi juga refleksi kebangsaan. Ia mengingatkan bahwa pesantren bukan masa lalu yang usang, melainkan masa depan yang beradab.
Ketika dunia modern sibuk menciptakan kecerdasan buatan, pesantren justru menjaga kecerdasan hati.
Dan di tengah hiruk-pikuk dunia yang menertawakan nilai, pesantren tetap teguh mengajarkan keseimbangan antara ilmu dan adab—sebuah pelajaran yang barangkali kini paling langka di layar kaca.( Eno).