MEMORAMIA: Jejak Pemikiran, Canda, dan Keteladanan Mas Imam Aziz

79355-okoh-nu-kh-imam-aziz-meninggal-dunia

Oleh: M. Zainuddin*

Profesor Filsafat dan Sosiologi Agama, Rektor Maliki Islamic University Malang

Malang | Serulingmedia.com – Sabtu dini hari, 12 Juli 2025, kabar duka menyergap dari RS. Sarjito, Yogyakarta. Imam Aziz, sahabat, aktivis, intelektual, dan tokoh gerakan pemikiran Islam progresif, telah berpulang pada pukul 00.30 WIB.

Saya mendapat kabar itu dari Kang Mangel, sejawat kami semasa kuliah dan perjuangan intelektual. Sejenak saya terdiam, menahan haru, mengenang sosok yang selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup saya.

Kami bertemu pertama kali sebagai mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI), Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Satu kelas, satu angkatan, satu semangat: melawan involusi berpikir.

Dari propedeuse hingga Bakaloreus, hingga Drs, kami jalani bersama. Tak hanya dalam akademik, tapi juga dalam medan pengabdian dan pemikiran.

Mas Imam adalah sahabat diskusi, penulis cepat (speed writer), pemikir tajam, dan organisator ulung. Ia sudah menulis di Kedaulatan Rakyat sejak masih di tingkat dua, sementara saya belajar darinya bagaimana merangkai kata menjadi senjata pemikiran. Kami belajar bersama menulis di Al-Hikmah, Masa Kini, hingga Pelita. Bersamanya, saya menyadari kekuatan pena dalam membangun peradaban.

Dari SGPC, Harkat Indonesia hingga LKiS

Jejak kami tak hanya di kelas. Kami adalah aktivis Senat Mahasiswa, PMII, dan pendiri komunitas intelektual seperti SGPC (Study Group for Peace and Culture), yang menyatukan cinta kami pada buku dan diskusi. Dari SGPC lahirlah Harkat Indonesia, lalu menjelma menjadi Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS)—yang kemudian mewarnai wacana Islam progresif Indonesia. Mas Imam lah pendiri dan nakhoda utamanya.

Saya masih ingat naskah pertama kami: Fashl al-Maqal karya Ibn Rusyd, diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi, kini Ketua BPIP. Lalu Fikr al-Tarbawi ‘Inda al-Ghazali, dan buku terjemahan Hasan Hanafi Kiri Islam—semua menjadi best-seller. Melalui LKiS, Mas Imam memberi ruang bagi intelektual muda, melahirkan banyak kader cerdas yang kini tersebar di berbagai penjuru negeri.

Aktivis Sejati, Pendidik Tanpa Pamrih

Kami pernah menjadi panitia Ramadhan in Campus di Masjid IAIN. Suatu ketika, mengundang Prof. Syafi’i Ma’arif. Setelah ceramah, panitia memberinya honor Rp3.000. Namun, ketika sang profesor mengajak makan di RM. Sate Samirono, tagihan makan justru melebihi honor yang diberikan. Kami pun tertunduk malu, tapi penuh tawa dan pelajaran akan kerendahan hati.

Mas Imam adalah sosok penuh dedikasi. Ia hadir di setiap seminar, menimba ilmu dari tokoh-tokoh besar seperti Gus Dur, Cak Nur, Romo Mangun, Dawam Raharjo, hingga Ignas Kleden. Ia aktif di PMIIS (Peminat Muda Ilmu-ilmu Sosial), mengikuti forum-forum ilmiah lintas kampus dan disiplin ilmu. Tidak hanya cerdas, ia juga bersahaja dan setia pada perjuangan rakyat kecil.

Warisan yang Abadi

Tak hanya mendirikan LKiS, Mas Imam juga pernah menjadi Ketua PBNU, staf khusus Wapres KH Ma’ruf Amin, dan tokoh penting gerakan intelektual muda NU. Namun di atas semua itu, ia adalah sahabat, guru, dan saudara dalam perjuangan. Ia tetap menjadi Mas Imam yang sederhana, yang kami kenal sejak di Nologaten, mengetik dengan mesin Brother, menggagas LKD BATRACO, dan menulis dengan semangat perubahan.

Kini Mas Imam telah tiada. Tapi ide dan jejaknya terus hidup. Ia tidak pergi, ia bertransformasi menjadi ilham bagi generasi selanjutnya. Saya bersaksi bahwa ia adalah pribadi baik, cerdas, dan shalih. Semoga Allah menempatkan beliau di surga terbaik-Nya.

Selamat jalan, sahabatku. Jejakmu abadi dalam ingatan dan sejarah.( *Rektor UIN Maliki Malang).